Friday, March 4, 2011

Wisata Palangkaraya di Bukit Tangkiling

Detail Berita
(Foto: ceritadayak.blogspot)

SEBUAH bukit batu-batu besar hitam menyerupai bentuk aneka binatang bertumpuk menjulang ke langit. Bukit bernama Bukit Tangkiling inilah yang menjadi salah satu objek wisata terkenal di Palangkaraya.

Taman wisata alam Bukit Tangkiling, Kecamatan Bukit Batu, merupakan objek wisata andalan Kota Palangkaraya. Objek wisata ini dinilai memiliki dayak tarik tersendiri karena menyimpan banyak spesies flora dan fauna.

Lokasi ini memiliki susana alam segar nan asri dengan varian vegetasi yang beragam, juga terdapat bebatuan berbentuk unik yang menjadi sebuah legenda.

Objek wisata tidak terlalu jauh dari pusat Kota Palangkaraya, hanya 34 km ke arah Barat Laut. Jika Anda melintasi kawasan bukit batu di sebelah kiri Jalan Raya Palangkaraya-Kasongan, pemandangan sebuah bukit batu terlihat sangat eksotik di balik pemukiman penduduk dan rerimbunan pohon.

Batu-batu besar hitam menyerupai bentuk aneka binatang itu bertumpuk menjulang ke langit. Uniknya, di antara gerombolan batu terselip pepohonan dan rerumputan hingga menjadi mozaik hijau yang artistik.

Bukit inilah yang terkenal di kalangan masyarakat Palangkaraya dan sekitarnya bernama Bukit Tangkiling yang selanjutnya ditetapkan sebagai kawasan konservasi cagar alam (CA) dan taman wisata alam (TWA) Bukit Tangkiling.

Di dua lokasi itu terdapat sembilan bukit batu serupa yang tersebar mengelompok dan lima bukit batu di Kawasan TWA, yaitu Bukit Tangkiling, Bukit Batu/Tunggal, Bukit Liau, Bukit Buhis, dan Bukit Baranahu. Sementara empat bukit lainnya, adalah Bukit Tisin, Tabala, Klawit, dan Bukit Bulan. (ftr), Pasha Ernowo - Okezone, (uky)

Monday, August 3, 2009

Stads Herberg, Penginapan Ternama di Pelabuhan Batavia

STADS Herberg pernah begitu ngetop di masa kejayaan jalur pelayaran dunia. Ketika Terusan Suez dibuka pada 1869, Stads Herberg makin menikmati masa jaya. Tempat penginapan di dekat Pelabuhan Sunda Kelapa ini mencapai zaman keemasan pada periode 1849-1885.

Adalah HS van Hogezand yang berinisiatif membangun rumah singgah yang lebih luas pada 1849. Ia menyadari bahwa perpindahan Kleine Boom (kantor kecil pabean) dari kanal sebelah barat ke bagian timur pada 1 Februari 1848 akan menguntungkan keberadaan rumah singgah miliknya.

Ketika itu Van Hogezand sudah memiliki penginapan kecil yang sudah dimulai sejak 1820 dan ia menyadari bahwa siapapun yang turun dari kapal atau akan berangkat naik kapal pasti melewati depan pintu penginapannya. Maka kemudian ketika Kleine Boom dipindah, ia mengajukan izin melebarkan bangunan.

Para pendatang yang tiba di Batavia pada malam hari bisa menginap di Stads Herberg sebelum menyasar tempat tujuan di pusat kota dengan mengendarai sado atau delman, demikian pula mereka yang menunggu kapal untuk berangkat menuju tempat lain bisa menginap di tempat itu.

Scott Merrillees dalam buku Batavia in The Nineteenth Century Photograhps menuliskan, insting bisnis Hogezand terus menambah isi koceknya manakala di tahun 1850 ia menyewakan kamar kecil di sisi utara bangunannya kepada J Parker, seorang Inggris, yang berbisnis perlengkapan kapal. Parker memberi nama tokonya "Marine Stores".

Keuntungan yang sudah diberikan dari hasil penginapan itu kemudian malah membuat Hogezand memutuskan untuk menjual Stads Herberg pada 1852. Padahal saat itu merupakan awal dari masa keemasan penginapan tersebut. JE Tentee adalah pemilik Stads Herberg berikutnya.

Setelah memberi keuntungan pada Hogezand, penginapan itu kemudian memberi keuntungan lebih besar pada Tentee manakala The Groote Boom (kantor besar pabean) juga dipindah ke sisi timur pada 1852. Itu artinya lebih banyak lagi orang berseliweran persis di depan pintu penginapannya. Stads Herberg terus bersinar hingga di tahun 1885. Sinarnya mulai pudar seiring pembukaan Pelabuhan Tanjung Priok di mana orang tak lagi turun dan naik dari pelabuhan tua dia Batavia.

Di tahun 1914 kepemilikan gedung Stads Herberg sudah berpindah tangan ke Ong Tek Hin. Kali ini tak lagi digunakan sebagai penginapan tapi sebagai gudang. Dari catatan sejarah, gedung ini masih ada hingga tahun 1949 namun kemudian, seperti banyak bangunan bersejarah lain, bangunan ini ikut dihancurkan.

Dari atas Menara Syahbandar dulu kala, Stads Herberg bisa terlihat, demikian pula suasana kesibukan pasar ikan, Kleine Boom dan Groote Boom. Sebenarnya boom dalam bahasa Belanda bermakna pohon, jadi kleine boom dan groote boom berarti pohon kecil dan pohon besar. Perihal asal muasal nama tersebut berawal dari sekitar abad 18 yaitu di mana Belanda memasang balok kayu di depan Sungai Ciliwung untuk membatasi masuk keluarnya warga ke dalam kawasan pelabuhan.

Lokasi pemasangan balok kayu itu kemudian dikenal sebagai groote boom, kebetulan di depan kantor pabean. Seluruh perahu yang masuk dan keluar harus melalui pos pemeriksaan ini.

Sedangkan lokasi di luar balok kayu kemudian dikenal sebagai luar batang dan menjadi nama kampung yaitu Luar Batang. Nama Batang diambil dari (batang) kayu yang menjadi pembatas antara pintu masuk dan keluar kawasan pelabuhan.

Jika di masa kini kita melihat kawasan tersebut dari atas Menara Syahbandar, sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah kawasan kumuh dengan sungai yang kotor. Beberapa bangunan tua yang tersisa kondisinya sudah reyot menanti ajal. Pokoknya, semua lenyap tak berbekas. Gedung yang masih bertahan tak lain gedung yang kini jadi Museum Bahari dan Menara Syahbandar itu sendiri. Pasar ikan, yang dibangun di tahun 1846, pun tersisa nama saja.


WARTA KOTA Pradaningrum Mijarto

Wednesday, July 29, 2009

Giving Meaning to the Lawang Sewu

Bicara tentang Kota Semarang tak genap jika tak menyebut Lawang Sewu. Gedung tua bikinan Belanda di awal abad ke-20 ini masih berdiri anggun dalam keuzurannya. Bangunan dua lantai ini bak lukisan yang menggenapi keindahan kawasan Tugu Muda, tempat bangunan ini berdiri. Seperti arsitektur bangunan kolonial di awal abad 20, bangunan ini juga sudah dilengkapi dengan sistem canggih dalam urusan saluran air dan udara. Belum lagi teknologi glasir yang begitu sempurna, padahal batu granit dipesan dan dibikin di Jerman.

Gedung bekas kantor Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), jawatan kereta api di zaman Belanda, ini menarik perhatian bukan hanya warga Semarang, melainkan juga sutradara film, sampai-sampai mereka tega merusak bangunan cagar budaya ini hanya demi pencapaian setting film Ayat-ayat Cinta dan Dendam Kuntil Anak.

Seusai dijadikan kantor NIS, gedung ini digunakan sebagai kantor Djawatan Kereta Api Indonesia (DKAI), kini menjadi PT Kereta Api (KA). Bangunan ini juga pernah menjadi markas militer, Komando Daerah Militer (Kodam) IV/Diponegoro dan Kanwil Departeman Perhubungan Jawa Tengah.

Pertempuran sengit yang terkenal sebagai pertempuran lima hari juga terjadi di sini. Pada pertempuran yang terjadi 14-19 Agustus 1945 itu, puluhan Angkatan Muda Kereta Api (AMKA) gugur. Beberapa jasad dimakamkan di halaman depan Lawang Sewu.

Sejarah mencatat, fondasi pertama bangunan ini dibikin pada 27 Februari 1904 dengan konstruksi beton berat dan di atasnya kemudian didirikan sebuah dinding dari batu belah. Semua material penting didatangkan dari Eropa, kecuali batu bata, batu gunung, dan kayu jati. Gedung ini resmi digunakan pada 1907.

Pihak kereta api kemudian menyerahkan halaman depan seluas 3.542 m2 pada Pemkodya Semarang. Adapun makam di halaman itu dipindah ke Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal pada 2 Juli 1975. Kini, lahan gedung Lawang Sewu tersisa sekitar 1,4 hektar.

Kini, PT KA sudah siap dengan pendataan kerusakan bangunan. Pendataan dilakukan oleh tim yang diketuai Kriswandhono dari Pusat Studi Urban Unika Soegijapranata, Semarang. Pendataan ini merupakan langkah awal pemugaran Lawang Sewu menjadi kompleks bangunan yang difungsikan kembali. Fungsi apakah nantinya? Tentu itu masih dalam tahap perencanaan. Yang pasti, bangunan karya arsitek Belanda, Jacob F Klinkhamer dan BJ Ouendag, ini punya masalah dengan air dan itu sangat mendesak.

"Kalau hujan, air dari atap sudah bukan bocor lagi, tapi byur gitu. Atap juga bisa segera ambrol. Yang bikin belum ambrol, ya, prinsip beton yang menahan kuat. Tapi harus segera dibenahi," kata Kriswandhono. Perihal penggunaan kembali bangunan tersebut, menurutnya bisa dijadikan apa saja. "Adaptive use tentu perlu kreativitas. Creative arts penting dalam rangka me-re-fungsi bangunan ini. Ada wacana menjadikan ini kembali sebagai kantor PT KA, Daop 4 Semarang, tempat pertemuan (convention), pertokoan yang unik, bisa banyak," paparnya.

Yang unik, Lawang Sewu, yang baru saja ditutup untuk umum, kini sudah dibuka kembali. Nantinya proses pemugaran akan didokumentasikan dan proses itu kemudian dipamerkan bagi warga dalam rangka meningkatkan kepedulian warga terhadap pentingnya bangunan bersejarah bagi kota itu sendiri.

Jika citra Lawang Sewu sudah terlanjur sebagai bangunan tua berhantu, itu tentu tak lepas dari kesalahan kita semua sebagai warga. Tentu kesalahan utama ada pada dinas atau departemen yang mengurus pendidikan, termasuk di dalamnya yang bertanggung jawab pada urusan kebudayaan. Budaya eksploitasi demit demi urusan kantong memang membuat segelintir manusia tamak kemudian tergiur untuk memungut keuntungan dari sana.

Reality show bahkan film layar lebar ramai-ramai mengusung tema hantu dan menggunakan bangunan kuno sebagai pihak yang teraniaya. Atau demi pencapaian setting tertentu kru film kemudian mendandani bangunan seenak udelnya. Dengan demikian, media tersebut menjadi penyumbang terbesar pada kebodohan warga.

Sekaranglah saatnya, semua pihak, termasuk PT KA sendiri, mulai memberi arti pada Lawang Sewu. Menyebarkan segala informasi tentang kemegahan bangunan beserta sejarah yang melekat pada dinding dan atapnya. Membangun kepedulian dan kepekaan warga Semarang—bahkan warga di luar Semarang—tentang pentingnya bangunan itu dalam sejarah bangsa ini.

Eksibisi atau pameran foto lama gedung ini beserta narasinya, pergelaran budaya, lokakarya untuk para penyebar berita, studi lapangan bagi murid SD hingga SMA tentang sejarah – bukan mengajarkan kebencian pada bekas penjajah, melainkan menularkan rasa syukur bahwa sekelam apa pun sejarah bangsa ini, tetap ada sisi positifnya, yaitu kekayaan pusaka yang ditinggalkan bangsa Belanda. Ini semua bisa jadi menghidupkan kesadaran pada warga terhadap pentingnya gedung yang baru dalam tahap menuju pemugaran ini.

Fungsi kontrol terhadap pencurian beberapa bagian gedung, seperti kayu jati, diharapkan bisa diminimalkan jika kesadaran warga untuk menjaga pusaka bersama ini tumbuh. Ada banyak cara menumbuhkan kesadaran pusaka (heritage), apalagi komunitas pencinta pusaka sudah bermekaran dan menularkan virus cinta pusaka.

Kini tergantung PT KA dan pemerintah terkait. Akankah citra bangunan bersejarah— khususnya Lawang Sewu—menjadi sekadar bangunan tua tempat berkumpulnya demit dibiarkan?
WARTA KOTA Pradaningrum Mijarto

Arak Batavia Beken di Dunia

BEBERAPA bulan lalu, di salah satu milis komunitas terkirim sebuah surat elektronik yang menanyakan tentang Batavia Arrack, arak Batavia, yang pada masanya begitu beken hingga di tanah Swedia. Sejarah minuman beralkohol tak lepas dari sejarah Batavia dan Tionghoa. Dalam beberapa buku sejarah Indonesia disebutkan, arak bikinan orang Tionghoa di Batavia memang punya cita rasa yang bikin orang-orang Eropa mabuk kepayang.

Dalam sebuah tulisan, "Peran Etnis Cina dalam Pengembangan Iptek" tertulis bahwa sudah sejak abad 17 warga Tionghoa di Batavia mengembangkan berbagai budidaya seperti tebu dan padi. Dari dua komoditi itu dibuatlah arak yang terdiri dari beras yang difermentasi, tetes tebu dan nira. Mereka telah mengembangkan penyulingan arak sejak awal abad 17.

Beberapa situs juga mengakui bahwa Batavia Arrack merupakan minuman beralkohol dari Hinda Belanda yang sudah melanglang buana. Beraroma sitrus dan cokelat yang lekat. Minuman ini diproduksi sejak akhir abad 17 hingga abad 19 dan merupakan minuman yang digemari di Eropa, khususnya Swedia. Minuman ini juga biasa disebut sebagai Batavia Arrack van Oosten.

Pada Mei tahun lalu The New York Times edisi Minggu memuat artikel berjudul "Out of the Blue: Batavia Arrack Comes Back". Paul Clarke si penulis menuliskan, Batavia Arrack bikinan awal abad 17 di sebuah pulau di Jawa terbuat dari air tebu dan fermentasi beras merah. Punya cita rasa berbeda, seperti rum Haiti dan Scotch.

Dalam buku "Nusantara: Sejarah Indonesia", Bernard HM Vlekke menyebutkan, hingga tahun 1775 masih ada perintah dari Pemerintah Tinggi melarang pemaksaan terhadap serdadu garnisun agar mandi sekali seminggu. Para istri orang Belanda yang hampir semuanya lahir di Indonesia tidak setakut itu pada air dibandingkan suami mereka yang datang dari Belanda yang basah dan berhujan.

Banyak rumah yang dibangun di sepanjang kanal punya kamar mandi kecil di atas air kanal dan dari sana nyonya-nyonya itu tanpa malu-malu terjun berendam di dalam bak mandi untuk masyarakat umum. Oleh Baron Van Imhoff, Gubernur Jenderal VOC, hal itu sebetulnya dilarang karena kanal itu dipakai sebagai got jadi memang jorok. Tapi tuan-tuan Belanda punya cara lain untuk melindungi kesehatan. Hari mereka dimulai dengan minum segelas gin dengan perut kosong.

"Bangsa kita harus minum atau mati," tulis Coen pada 1619. Tidaklah heran bahwa penyulingan arak disebut industri utama di Batavia. Arak Batavia menjadi terkenal di seluruh Asia. "Orang-orang kita saling merangkul dan memberkati diri sendiri karena mereka berhasil tiba di tempat yang begitu luar biasa racikan punch-nya," tulis Kapten Britania, Woodes Rogers, dalam catatan hariannya di awal abad 18.

Sementara itu, Kapten James Cook terpesona dengan keampuhan arak Batavia yang membuat seorang awaknya tak pernah jatuh sakit. Padahal usia awak kapal tadi sudah di atas 70 tahun dan kerjanya hanya mabuk arak Batavia.

Naskah sejarah lain menyatakan, dua jenis industri yang pernah berkembang menjadi besar di Batavia adalah industri gula dan pembuatan arak. Penyulingan arak terutama dilakukan di dalam tembok kota, seperti di Kali Besar. Di kawasan itu pabrik penyulingan bertahan cukup lama.

Kisah perjalanan arak Batavia hingga ke Swedia bisa jadi dimulai ketika Kapal Gotheborg mampir ke Batavia pada 1743. Awak kapal harus memenuhi kebutuhan kapal dan awaknya seperti arak, kayu bakar, kebutuhan untuk mengisi perut, serta mesiu cadangan untuk keamanan. Sebagai warga dari negeri super dingin di kawasan Skandinavia, maka tak aneh jika arak menjadi menu utama awak kapal. Rupanya mereka menyukai cita rasa arak bikinan Batavia – Batavi Arrack van Oosten yang mengandung alkohol 50%.

Kasijanto Sastrodinomo, pengajar pada Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, pernah menulis, di awal abad 20 pemerintah kolonial pernah mengeluarkan buku karangan J Kats berjudul Het alcoholkwaad. Kats mengutip hasil penelitian tentang dampak negatif penggunaan alkohol di beberapa negara di Eropa. Ditunjukkan antara lain adanya hubungan antara kebiasaan meminum alkohol dan merosotnya daya tahan tubuh penggunanya sehingga mudah menimbulkan sakit.

Sebelum buku itu muncul, pemerintah sudah membentuk Komisi Pemberantasan Alkohol (Alcoholbes- trijdings-commissie) yang ditugasi untuk menyelidiki dan memerangi penggunaan dan penyalahgunaan alkohol di kalangan masyarakat Hindia Belanda. Komisi menemukan, konsumsi minuman keras telah meluas di kalangan masyarakat. Di Batavia, misalnya, pembuatan, penjualan, dan penggunaan minuman jenis itu sudah sampai pada taraf mengkhawatirkan. Kawasan Senen disebut-sebut sebagai tempat jual-beli minuman beralkohol secara gelap.

Minuman keras tradisional yang populer di kalangan masyarakat pribumi dikenal sebagai arak, badèg, ciu, yang menurut polisi digolongkan sebagai gelap alias tidak berizin.
Kenyataannya hingga kini minuman beralkohol tak berizin masih merajalela hingga ke dusun-dusun di Indonesia. Biasa disebut oplosan, campuran berbagai minuman beralkohol, berenergi, dll.


WARTA KOTA Pradaningrum Mijarto