Bicara
tentang
Kota Semarang tak genap jika tak menyebut Lawang Sewu. Gedung tua bikinan Belanda di awal abad ke-20 ini masih berdiri anggun dalam keuzurannya. Bangunan dua lantai ini bak lukisan yang menggenapi
keindahan kawasan Tugu Muda, tempat bangunan ini berdiri. Seperti arsitektur bangunan kolonial di awal abad 20, bangunan ini juga sudah dilengkapi dengan sistem canggih dalam urusan saluran air dan udara. Belum lagi teknologi glasir yang begitu sempurna, padahal batu granit dipesan dan dibikin di Jerman.
Gedung bekas kantor Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), jawatan kereta api di zaman Belanda, ini menarik perhatian bukan hanya warga Semarang, melainkan juga sutradara film, sampai-sampai mereka tega merusak bangunan cagar budaya ini hanya demi pencapaian setting film Ayat-ayat Cinta dan Dendam Kuntil Anak.
Seusai dijadikan kantor NIS, gedung ini digunakan sebagai kantor Djawatan Kereta Api Indonesia (DKAI), kini menjadi PT Kereta Api (KA). Bangunan ini juga pernah menjadi markas militer, Komando Daerah Militer (Kodam) IV/Diponegoro dan Kanwil Departeman Perhubungan Jawa Tengah.
Pertempuran sengit yang terkenal sebagai pertempuran lima hari juga terjadi di sini. Pada pertempuran yang terjadi 14-19 Agustus 1945 itu, puluhan Angkatan Muda Kereta Api (AMKA) gugur. Beberapa jasad dimakamkan di halaman depan Lawang Sewu.
Sejarah mencatat, fondasi pertama bangunan ini dibikin pada 27 Februari 1904 dengan konstruksi beton berat dan di atasnya kemudian didirikan sebuah dinding dari batu belah. Semua material penting didatangkan dari Eropa, kecuali batu bata, batu gunung, dan kayu jati. Gedung ini resmi digunakan pada 1907.
Pihak kereta api kemudian menyerahkan halaman depan seluas 3.542 m2 pada Pemkodya Semarang. Adapun makam di halaman itu dipindah ke Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal pada 2 Juli 1975. Kini, lahan gedung Lawang Sewu tersisa sekitar 1,4 hektar.
Kini, PT KA sudah siap dengan pendataan kerusakan bangunan. Pendataan dilakukan oleh tim yang diketuai Kriswandhono dari Pusat Studi Urban Unika Soegijapranata, Semarang. Pendataan ini merupakan langkah awal pemugaran Lawang Sewu menjadi kompleks bangunan yang difungsikan kembali. Fungsi apakah nantinya? Tentu itu masih dalam tahap perencanaan. Yang pasti, bangunan karya arsitek Belanda, Jacob F Klinkhamer dan BJ Ouendag, ini punya masalah dengan air dan itu sangat mendesak.
"Kalau hujan, air dari atap sudah bukan bocor lagi, tapi byur gitu. Atap juga bisa segera ambrol. Yang bikin belum ambrol, ya, prinsip beton yang menahan kuat. Tapi harus segera dibenahi," kata Kriswandhono. Perihal penggunaan kembali bangunan tersebut, menurutnya bisa dijadikan apa saja. "Adaptive use tentu perlu kreativitas. Creative arts penting dalam rangka me-re-fungsi bangunan ini. Ada wacana menjadikan ini kembali sebagai kantor PT KA, Daop 4 Semarang, tempat pertemuan (convention), pertokoan yang unik, bisa banyak," paparnya.
Yang unik, Lawang Sewu, yang baru saja ditutup untuk umum, kini sudah dibuka kembali. Nantinya proses pemugaran akan didokumentasikan dan proses itu kemudian dipamerkan bagi warga dalam rangka meningkatkan kepedulian warga terhadap pentingnya bangunan bersejarah bagi kota itu sendiri.
Jika citra Lawang Sewu sudah terlanjur sebagai bangunan tua berhantu, itu tentu tak lepas dari kesalahan kita semua sebagai warga. Tentu kesalahan utama ada pada dinas atau departemen yang mengurus pendidikan, termasuk di dalamnya yang bertanggung jawab pada urusan kebudayaan. Budaya eksploitasi demit demi urusan kantong memang membuat segelintir manusia tamak kemudian tergiur untuk memungut keuntungan dari sana.
Reality show bahkan film layar lebar ramai-ramai mengusung tema hantu dan menggunakan bangunan kuno sebagai pihak yang teraniaya. Atau demi pencapaian setting tertentu kru film kemudian mendandani bangunan seenak udelnya. Dengan demikian, media tersebut menjadi penyumbang terbesar pada kebodohan warga.
Sekaranglah saatnya, semua pihak, termasuk PT KA sendiri, mulai memberi arti pada Lawang Sewu. Menyebarkan segala informasi tentang kemegahan bangunan beserta sejarah yang melekat pada dinding dan atapnya. Membangun kepedulian dan kepekaan warga Semarang—bahkan warga di luar Semarang—tentang pentingnya bangunan itu dalam sejarah bangsa ini.
Eksibisi atau pameran foto lama gedung ini beserta narasinya, pergelaran budaya, lokakarya untuk para penyebar berita, studi lapangan bagi murid SD hingga SMA tentang sejarah – bukan mengajarkan kebencian pada bekas penjajah, melainkan menularkan rasa syukur bahwa sekelam apa pun sejarah bangsa ini, tetap ada sisi positifnya, yaitu kekayaan pusaka yang ditinggalkan bangsa Belanda. Ini semua bisa jadi menghidupkan kesadaran pada warga terhadap pentingnya gedung yang baru dalam tahap menuju pemugaran ini.
Fungsi kontrol terhadap pencurian beberapa bagian gedung, seperti kayu jati, diharapkan bisa diminimalkan jika kesadaran warga untuk menjaga pusaka bersama ini tumbuh. Ada banyak cara menumbuhkan kesadaran pusaka (heritage), apalagi komunitas pencinta pusaka sudah bermekaran dan menularkan virus cinta pusaka.
Kini tergantung PT KA dan pemerintah terkait. Akankah citra bangunan bersejarah— khususnya Lawang Sewu—menjadi sekadar bangunan tua tempat berkumpulnya demit dibiarkan?
WARTA KOTA Pradaningrum Mijarto